Seperti yang kita
ketahui Imam Al-Mahdi sudah hadir diantara kita tetapi tidak ada yang tahu
siapa beliau. Bisa jadi ia adalah orang-orang yang biasa berpapasan dengan kita
atau bahkan sehari-sehari bertemu dengannya. Akan tetapi dia tidaklah seperti
apa yang orang-orang besar-besarkan. Dinilai dari segi manapun sebenarnya ia
hanya orang biasa, manusia biasa. Berpenampilan sederhana apa adanya, tidak
berdandan seperti ulama-ulama besar atau ustadz-ustadz yang terlihat megah atau
bermewah-mewah.
Dalam kesehariannya ia
tidak beda jauh dengan kehidupan sehari-hari sebagai seorang manusia. Ada
bahagia, susah, senang, sedih, keceriaan. Ia bisa tertawa tersenyum bahagia juga
menangis besedih maupun berduka. Kadangkala beliau bisa menjadi orang yang
sangat sensitif. Mudah tersentuh ataupun mudah terluka. Beliau saat ini
hanyalah seorang pemuda yang kebingungan (kadang linglung) dan mudah menangis
karena kepedihan ummat. Namun bagaimanapun beliau memiliki hati dan senyum yang
khas daripada yang lain. Dari kesehariannya ini beliau mengakui banyak mendapat
pelajaran hidup akan bagaimana susah-mudahnya menanggung hidup dan menjalankan
amanah sebagai manusia kepada Allah.
Ia bersikap layaknya
cermin. Jika menduga dirinya baik maka baiklah dirinya. Jika menduga dirinya
buruk maka buruklah dirinya. Prasangka diri akan memantul pada diri sendiri
sebagaimana apa yang dipikirkan. Dan dia tidak selalu dapat menghalau dugaan
buruk lawan bicara jika bukan dari dukungan baik orang terdekatnya. Ini pun ia
tegaskan sebagai pelajaran diri bahwa jika menjadi orang jadilah orang yang
berprasangka baik kepada lawan bicaranya, apalagi pada pemimpinnya yang mana ia
telah dinilai baik sebagai pemimpin yang bertanggung jawab dan penuh kasih. Kebaikan dari prasangka baik ini nantinya akan kembali pada diri kita sendiri. Begitu pula
sebaliknya, prasangka buruk hanya akan menyulitkannya dan pada akhirnya akan menyulitkan diri sendiri
juga.
Dia juga bukan seorang
yang pandai beradu, bersilat lidah dalam urusan agama. Belum paham bahasa arab maupun hafal Al-Qur’an. Atau bahkan ia memiliki
ilmu pengetahuan yang lebih rendah daripada saudara/i sekalian. Dasarnya ia sama seperti
nabi-nabi atau guru-guru spiritual terdahulu. Ia memulai segalanya dari nol melalui
bimbingan orang maupun belajar sendiri. Masih belajar dan mencari guru sejati
yang hendak membimbingnya sesuai dengan pemahamannya yang berlaku. Layaknya awal mula
kebangkitan Avatar Aang. Dalam kebangkitannya, ia tidak langsung menjadi orang
yang kuat, ia pun lebih lemah dari orang manapun, kesana kemari tunggang
langgang mencari guru dan ilmu pengetahuan dari yang ahli. Sedih, tangis,
bahagia ia lalui. Hingga pada akhirnya Avatar Aang mampu menjadi seorang avatar
yang sesungguhnya yang sanggup menyelamatkan dunia dari ancaman akhir jaman. Begitu
pula dengan Imam Al-Mahdi ia pun memilki alur kisahnya sendiri hingga beliau
benar-benar menjadi seorang khalifah sejati, mencapai derajat mulia kemanusiaan
yang sesungguhnya seperti yang dikabarkan orang-orang terdahulu.
Betapa kurang dan
lemahnya dirinya, tiada sempurna diri kecuali dengan atas Kebesaran Allah. Dari
sini pulalah sebuah hikmah bahwa Imam Al-Mahdi dasarnya adalah manusia. Bukan
tuhan yang patut disembah maupun disanjung-sanjung bagai tuhan atau bahkan
lebih. Beliau menegaskan bahwa sesungguhnya penyembahan dan sanjungan kebesaran
hanyalah Milik Allah. Sebenar-Benar Penolong, Penyelamat.
Dia tidak seperti yang
dibicarakan seperti orang-orang, mengharap orang-orang bersumpah, berbaiat
kepadanya sebagai pengikut dan sesungguhnya beliau akan menolak baiat yang
semacam. Karena baginya baiat seorang islam ialah baiat antara dirinya sendiri
kepada Allah, bukan kepada Imam Al-Mahdi. Bila orang-orang berbondong datang
kepadanya paling-paling ia hanya menuntun baiatnya antara dirinya kepada Allah.
Beliau menerangkan bahwa baiat yang sesungguhnya ialah syahadat. Akan tetapi
beliau juga menerangkan bahwa seseorang tidak akan menjadi Al-Islam (hanya
sebagai muslim) jikalau orang tersebut tidak memahami ucapan syahadatnya dan
beribadah. Hanya terombang-ambing dalam ketaqwaannya (tidak jelas beribadah
untuk apa dan kepada Siapa, keimanan mudah goyah dan taqwanya, pahala atau amalannya
menjadi tidak sempurna). Dan mereka yang telah memahami benar syahadat yang
diucapkannya maka tentunya ia dengan sukarela dan senang hati akan membela (agama)
Allah tanpa harus dipaksa atau didoktrin.
Lantas dimanakah dan
siapakah beliau sekarang? Bagaimanapun tidak ada seorangpun yang akan
memberitahukannya. Hanya orang-orang yang sanggup mengetahui dan menjaga
Rahasia Allah-lah yang Diijinkan untuk mengetahui dimana dan siapa beliau
sekarang. Bagaimanapun caranya dan berapakalipun menanyakan apakah beliau
adalah Imam Al-Mahdi atau bukan maka beliau tetap akan menjawab, “Bukan saya orangnya.”
Karena beliau telah Diamanahkan dan Dijelaskan oleh Allah akan siapakah Imam
Al-Mahdi sebenarnya. “Tidak perlu mencari-cari Imam Al-Mahdi. Imam Al-Mahdi dialah
orang yang disumpah sebagai khalifah di tanah suci dihadapan ka’bah disaksikan
ummat muslim seluruh dunia sebagai saksi dan pengakuan kepada Allah.” demikian
jelasnya. Maka dari itu Imam Al-Mahdi tidak akan terang-terangan atau bersedia
mengakui sebagai Imam Al-Mahdi sebelum ia siap dan dibai’at dengan tata cara
yang Diamanahkan dan Dibenarkan Oleh Allah.
Pesan beliau, “Hampir
setiap hari orang sibuk membicarakan tentang akhir jaman, hari kiamat dan huru-haranya.
Bagaimanapun ini adalah bagian dari Ujian Allah serta Janji Allah akan keadaan serta
kondisi hari akhir. Tetaplah bersabar dan berprasangka baik kepada Allah akan masa kini dan
masa depan. Tetaplah berpegang teguh kepada Allah serta Amanah dan Ajaran-Nya,
tiada lengah dan bosan menghindari godaan dari Larangan Allah. Tidak perlu terfokus pada
kesalahan dan kekurangan orang lain, lebih baik perhatikanlah diri sendiri
apakah sudah layak disebut sebagai orang yang mulia di Sisi Allah. Dan Bertaubatlah
kepada Allah selagi mampu, selagi masih ada kesempatan.”